Review Novel Hujan Tere Liye
Kau, Aku, dan Hujan
Ruang Resensi | Hujan selalu identik dengan sesuatu yang romantis. Konon, bulir-bulirnya
mengandung kenangan; ada yang indah, seindah salju pertama musim dingin. Ada pula
yang getir segetir rasa kehilangan.
Hujan selalu istimewa, karena hadirnya membawa cerita. Terima kasih kepada penulis yang sudah menyuguhkan lakon tentang hujan bersama dua anak manusia yang unik dan luar biasa.
Review novel Hujan Tere Liye ini akan menyuguhkan secara ringkas Lail dan Esok. Dua sejoli yang menarasikan cinta dengan cara masing-masing.
Review Novel Hujan Tere Liye: Sinopsis
“Congratulations! Selamat, penduduk
bumi! Kita baru saja mendapatkan bayi yang ke sepuluh miliyar.”
Tulisan tersebut memenuhi seantero kota. Mulai dari layar-layar stasiun
bawah tanah, dinding-dinding bus, hingga
lampu lalu lintas perempatan jalan.
Lail berusia 13 tahun. Dia mengenakan seragam, sepatu, dan tas baru. Hari
itu adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, menyebabkan kota sudah
penuh sesak di pagi hari. Dia terlambat. Ibunya mengomel, karena semua
keterlambatan ini disebabkan oleh dirinya yang bangun kesiangan. Dan dia tidak
peduli dengan berita congratulation itu.
Sedang layar tipis tengah membahas persoalan manusia yang telah
berkembang biak memicu terjadinya krisis air dan pangan. Daya tampung bumi
terbatas, jika terus menerus ditambah akan menjadi masalah serius.
Hari itu, tepat ketika penduduk bumi kesepuluh milyar lahir. Tepat ketika
Lail dan ibunya masuk ke dalam kereta kapsul. Tepat ketika seorang profesor membahas
pemusnahan massal manusia; gunung purba meletus. Suaranya terdengar hingga
radius 10 ribu kilometer dan abunya setinggi 80 kilometer membumbung ke
angkasa. Akibatnya bukan main! Gempa 10 skala Richter mengguncang sepertiga
bumi; gedung-gedung runtuh, jalan layang berguguran, tanah-tanah merekah,
rumah-rumah bagai dibelah (h. 21).
Kapsul yang ditumpangi Lail dan ibunya mengerem paksa. Suara decitannya
sangat ngilu. Kereta keluar jalur menghantam dinding lorong karena tak mampu
menahan keseimbangan. Penumpang terjungkir balik. Tumpah jumpalitan, terombang
ambing terhantam dan terbentur. Teriakan panik dan ngeri bercampur baur.
Setelah kejadian beberapa detik itu, keadaan gelap total. Kondisi kereta
jua tak mungkin untuk melanjutkan perjalanan. Gempa membuat lorong tertutup.
Petugas yang sudah membaca situasi, segera melakukan evakuasi kepada
seluruh penumpang, termasuk Lail dan ibunya. Mereka langsung mengarah ke tangga
darurat.
Lorong bawah tanah adalah tempat paling berbahaya saat terjadi gempa.
Atapnya bisa runtuh kapan saja. Belum lagi gempa susulan yang bisa datang
tiba-tiba. Siapa pun akan mati jika tertimpa reruntuhan.
Setelah tersuruk-suruk dan menggelangsar, akhirnya petugas dan para
penumpang menemukan tangga darurat yang bisa dinaiki. Anak-anak dipersilakan
naik duluan. Seorang anak laki-laki mengambil posisi di awal, kemudian memanjat
tangga tanpa masalah. Disusul Lail, kemudian ibunya, lalu penumpang lain. Tentu
saja, petugas mendapat jatah paling akhir.
Namun, seperti kata pepatah, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak. Ketika Lail sudah hampir mencapai permukaan, tiba-tiba dinding
merekah, tanah bagian bawah terburai. Penumpang yang tengah memanjat langsung
terlingsir, tak terkecuali ibu Lail. Bersama dengan sebuah teriakan terakhir,
dia lenyap bersama reruntuhan di dasar lorong.
Kala itu, Lail berusaha untuk menyelamatkan sang Ibu. Membuat pegangannya
terlepas. Syukurlah, satu tangan meraihnya. Dia selamat.
Lail dan anak laki-laki itu terjerembab di pinggiran trotoar. Di
persimpangan jalan. Di sisi tangga darurat yang sudah rubuh. Wajahnya pucat,
karena baru saja melewati kengerian yang luar biasa. Bibirnya mendesiskan kata
ibu ... karena menjadi saksi tiadanya. Dan ketika dia tersadar untuk menatap ke
sekelilingnya, pemandangan yang lebih menakutkan mencengkram hatinya. Kota bena-benar
hancur dan luluh lantak. Langit gerimis, seakan ikut berduka dengan
kemalangannya.
Gerimis menjelma hujan. Anak laki-laki itu mengajak Lail untuk berteduh.
Keduanya menuju taman kota yang berjarak sekitar 200 meter. Berlindung di bawah
rumah-rumahan plastik.
Anak lelaki ini namanya Esok. Berusia 15 tahun. Sama seperti Lail, dia juga kehilangan anggota keluarga; empat orang saudara laki-laki.
Rupanya, dia ini sosok yang jenius dan brilian. Tujuannya jelas. Tindakannya memiliki maksud. Saat Lail bingung entah melakukan apa, Esok mengajaknya untuk melihat rumah mereka. Mungkin ada yang tersisa, atau ada anggota keluarga yang selamat.
Benar saja, ibu Esok masih hidup. Berada di antara reruntuhan. Tertindih
rak toko. Syukurlah ada regu penyelamat di dekat situ. Ibunya tertolong. Langsung
dilarikan ke rumah sakit. Sungguh, itu bisa dianggap sebagai keajaiban.
Pasca gempa, kehidupan Lail dan Esok berubah total. Malam pertama, mereka
menginap di rumah sakit darurat. Berbaring di sudut tenda, beralas kardus,
berbantal tangan. Meringkuk menahan dingin. Namun, fisik yang lelah, menjadikan
keduanya tertidur pulas.
Esoknya, Walikota—yang selamat dari bencana—mengumumkan lokasi-lokasi
pengungsian. Jumlahnya ada delapan. Titik yang paling dekat dengan Lail dan
Esok adalah pengungsian nomor dua di stadion sepak bola. Setelah mendaftarkan
diri, keduanya langsung mendapatkan pelayanan.
Malam kedua, Lail dan Esok tidur dengan kondisi yang lebih baik. Memakai kasur
tipis, bantal, selimut, bahkan berganti pakaian. Meski seadanya, itu lebih
layak daripada malam sebelumnya. Sementara itu, keadaan di luar bertambah
buruk. Debu semakin tebal, cuaca turun drastis hingga lima derajat celcius.
Dinginnya sangat menusuk tulang.
Hari ketiga, debu masih tebal seperti biasa. Lail melibatkan diri untuk
membantu para petugas dapur umum di pengungsian. Dia diberi tugas mencuci
piring dan alat-alat masak lainnya. Sedang Esok sudah melibatkan diri sejak
hari pertama; membawa barang-barang, membagikan masker, mengobrol dengan
marinir (h. 61) dan banyak hal lainnya.
Saat itu, evakuasi kerban gempa, masih terus dilakukan.
Hari ketujuh, pengungsian tempat Lail dan Esok berada mendapat sumber air
bersih dari sumur bor. Orang-orang berteriak riang karena sudah berhari-hari
mereka belum mandi. Antrean mengular panjang, tapi itu bukan masalah.
Hari keempat belas, hujan sudah tiga kali melanda kota. Abu yang tebal
berkurang. Keadaan udara membaik. Pengungsi sudah boleh melepas masker,
bernafas normal. Mungkin, itu adalah berkah sekaligus keajaiban yang diberikan
Tuhan. Mengingat betapa berbahayanya jika abu terus turun.
Hari ke 21, ibu Esok sudah pulih dan diperbolehkan keluar dari rumah sakit,
melanjutkan perawatan di tenda pengungsian. Esok sangat berbahagia. Lail turut
senang.
Hari ke 30, sekolah darurat didirikan. Bagaimanapun, pendidikan adalah hal
penting dan dibutuhkan untuk menyiapkan generasi-generasi muda. Di bawah tenda
besar, Lail memulai kembali hidupnya sebagai pelajar, walau dengan fasilitas
seadanya. Sedang Esok ditempatkan di sebuah bangunan yang selamat dari bencana,
meski hanya separuh.
Hari-hari terus berlalu. Evakuasi korban terus menerus dilakukan. Jaringan
komunikasi dipulihkan pada hari keenam puluh. Dan kendaraan sudah melintas
pada hari ketujuhpuluh.
Akan tetapi, Lail dan Esok tidak bisa terus menerus bersama. Karena terlalu
jenius, Esok diadopsi oleh Walikota. Dia diberi beasiswa untuk melanjutkan
sekolah ke ibu kota. Sekaligus mendapat fasilitas perawatan terbaik untuk
ibunya.
Sedang Lail mau tak mau menerima nasib untuk tinggal di panti sosial. Mengecap
getirnya kehidupan. Dan sejak perpisahan itu, dia tersadar... Esok adalah sosok
yang sangat berarti baginya ....
Review Novel Hujan Tere Liye: Kelebihan dan Kekurangan
Sebenarnya, ide novel tentang hujan sangatlah sederhana. Sungguh telah
banyak novel yang serupa. Hanya saja, Tere Liye meramunya dengan Sains sehingga
nampak memunculkan sudut pandang baru dan layak dibaca.
Salah satu hal yang patut diapresiasi dalam novel Hujan ialah keakuratan data
yang ditampilkan Tere Liye. Misal pembahasan di halaman sebelas, penduduk bumi
berjumlah sekitar enam milyar pada tahun
2000. Kemudian digeser ke 200 tahun sebelumnya, jumlah penduduk bumi belum
menyentuh milyaran, masih ratusan juta saja. Dan perkiraan pada tahun
2040-an, dunia akan berisi 9-10 milyar manusia. Hal tersebut sesuai dengan data dari United
Nation World population Prospects.
Atau fakta Gunung Tambora yang meletus 5 April 1815 dan menyebabkan iklim
dunia berubah. Gunung Krakatau yang tumpah pada 26 Agustus 1883, menyebabkan
Tsunami dahsyat di kawasan Samudera Hindia dan menewaskan 36 ribu orang. Gunung
Toba dengan ledakan skala 8, menyebabkan bumi mengalami musim dingin selama
enam tahun berturut-turut, populasi dunia langsung menyusut. Semuanya bisa
dicocokan dengan sejarah yang ada.
Meski data-data tersebut bisa dijumpai di internet dengan mudah, tetaplah
usaha penulis mengetengahkan realita berdasar fakta perlu diberi applause.
Selain itu, gagasan-gagasan Tere Liye dalam novel Hujan cukup brilian. Mulai
dari sistem nirkabel autodebet, mobil terbang tanpa awak, apartemen canggih
dengan segala fasilitasnya, sampai pada pemerintahan yang memiliki tatakelola
efektif dan efisien yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Salah satunya tanggap
bencana dan menyiapkan penanganan terbaik.
Meski begitu, Esok yang dianggap sebagai tokoh besar dalam novel ini, tidak
diberi porsi yang cukup. Penulis hanya menarasikan kejeniusannya tanpa
menampilkan pekerjaan sesungguhnya. Memang, ada beberapa bagian dia
menampakkan hasil, tapi perjuangannya dinihilkan.
Ada pengulangan makna di halaman 36 dan 47, narasi Lail menyukai hujan.
Sebenarnya, sudah cukup pada halaman 36 saja.
Kemudian, nampak sebuah plot hole di halaman 117 ketika Lail dan sahabatnya di kubangan lumpur. Pada narasi pertama, sahabatnya mengatakan bahwa mereka baru separuh jalan. Ditambah penegasan kalimat perkampungan penduduk yang mereka tuju masih jauh. Namun, hanya dengan melewati rintangan lumpur 20 meter dan selamat darinya, muncul sebuah narasi yang berlawanan, mereka berhasil melewati kubangan lumpur dan perkampungan penduduk sudah dekat.
Walau sebenarnya, hal tersebut hanyalah simulasi, tetap saja ada tuturan
yang bertolak belakang.
Terakhir, beberapa istilah yang kurang familiar tidak diberi penjelasan
atau catatan kaki sama sekali. Sehingga pembaca harus meraba-raba maknanya atau
membuka perambah google.
Meski begitu, novel Hujan memiliki banyak nilai positif. Mulai dari kedewasaan
dalam menyikapi kehilangan, hingga pengorbanan untuk orang yang dicintai.
Sangat direkomendasikan pada kaula muda yang menginginkan cerita romantis
sederhana dengan balutan sains yang cukup memberi wawasan dan pengetahuan.
Kutipan Novel Hujan Tere Liye
Lebih baik mendengar kebenaran meski itu amat menyakitkan daripada mendengar kebohongan meski itu amat menyenangkan, (h. 288).
Sebenarnya hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan ... (h. 298).
Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi, jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan, (h. 308).
Glosarium Novel Hujan Tere Liye:
Population bottleneck (h. 32): penurunan drastis populasi akibat bencana
alam.
Sibling rivarly (h. 36): kompetisi atau persaingan antar saudara kandung.
Landmark (h. 37): markah atau tugu kota.
Stratosfer (h. 49): bagian kedua dari lapisan yang melindungi bumi.
Bersuhu dingin. Fungsi utamanya melindungi bumi dari paparan sinar ultraviolet
yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Superintendent (h. 80): pengawas, pemimpin.
Deadlock (h. 121): jalan buntu.
Konstelasi (h. 122): keadaan, tatanan.
KTT: Konferensi Tingkat Tinggi.
Identitas Novel:
Pengarang: Tere Liye
Genre: Roman, Sci-fi, Drama
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2016
Tebal: 320 hlm; 20 cm
eISBN: 978-602-038359-0
Demikian Review Novel Hujan Tere Liye. Semoga bisa memberi sekilas gambaran isi buku. Semoga bermanfaat!
0 comments