BLANTERORBITv102

    Review Novel Hujan | Tere Liye

    Rabu, 15 Maret 2023

    resensi novel hujan

    Review Novel Hujan Tere Liye

    Kau, Aku, dan Hujan

    Ruang Resensi | Hujan selalu identik dengan sesuatu yang romantis. Konon, bulir-bulirnya mengandung kenangan; ada yang indah, seindah salju pertama musim dingin. Ada pula yang getir segetir rasa kehilangan.

    Hujan selalu istimewa, karena hadirnya membawa cerita. Terima kasih kepada penulis yang sudah menyuguhkan lakon tentang hujan bersama dua anak manusia yang unik dan luar biasa. 

    Review novel Hujan Tere Liye ini akan menyuguhkan secara ringkas Lail dan Esok. Dua sejoli yang menarasikan cinta dengan cara masing-masing.

    Review Novel Hujan Tere Liye: Sinopsis

    “Congratulations!  Selamat, penduduk bumi! Kita baru saja mendapatkan bayi yang ke sepuluh miliyar.”

    Tulisan tersebut memenuhi seantero kota. Mulai dari layar-layar stasiun bawah tanah, dinding-dinding bus,  hingga lampu lalu lintas perempatan jalan.

    Lail berusia 13 tahun. Dia mengenakan seragam, sepatu, dan tas baru. Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, menyebabkan kota sudah penuh sesak di pagi hari. Dia terlambat. Ibunya mengomel, karena semua keterlambatan ini disebabkan oleh dirinya yang bangun kesiangan. Dan dia tidak peduli dengan berita congratulation itu.

    Sedang layar tipis tengah membahas persoalan manusia yang telah berkembang biak memicu terjadinya krisis air dan pangan. Daya tampung bumi terbatas, jika terus menerus ditambah akan menjadi masalah serius.

    Hari itu, tepat ketika penduduk bumi kesepuluh milyar lahir. Tepat ketika Lail dan ibunya masuk ke dalam kereta kapsul. Tepat ketika seorang profesor membahas pemusnahan massal manusia; gunung purba meletus. Suaranya terdengar hingga radius 10 ribu kilometer dan abunya setinggi 80 kilometer membumbung ke angkasa. Akibatnya bukan main! Gempa 10 skala Richter mengguncang sepertiga bumi; gedung-gedung runtuh, jalan layang berguguran, tanah-tanah merekah, rumah-rumah bagai dibelah (h. 21).

    Kapsul yang ditumpangi Lail dan ibunya mengerem paksa. Suara decitannya sangat ngilu. Kereta keluar jalur menghantam dinding lorong karena tak mampu menahan keseimbangan. Penumpang terjungkir balik. Tumpah jumpalitan, terombang ambing terhantam dan terbentur. Teriakan panik dan ngeri bercampur baur.

    Setelah kejadian beberapa detik itu, keadaan gelap total. Kondisi kereta jua tak mungkin untuk melanjutkan perjalanan. Gempa membuat lorong tertutup.

    Petugas yang sudah membaca situasi, segera melakukan evakuasi kepada seluruh penumpang, termasuk Lail dan ibunya. Mereka langsung mengarah ke tangga darurat.

    Lorong bawah tanah adalah tempat paling berbahaya saat terjadi gempa. Atapnya bisa runtuh kapan saja. Belum lagi gempa susulan yang bisa datang tiba-tiba. Siapa pun akan mati jika tertimpa reruntuhan.

    Setelah tersuruk-suruk dan menggelangsar, akhirnya petugas dan para penumpang menemukan tangga darurat yang bisa dinaiki. Anak-anak dipersilakan naik duluan. Seorang anak laki-laki mengambil posisi di awal, kemudian memanjat tangga tanpa masalah. Disusul Lail, kemudian ibunya, lalu penumpang lain. Tentu saja, petugas mendapat jatah paling akhir.

    Namun, seperti kata pepatah, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika Lail sudah hampir mencapai permukaan, tiba-tiba dinding merekah, tanah bagian bawah terburai. Penumpang yang tengah memanjat langsung terlingsir, tak terkecuali ibu Lail. Bersama dengan sebuah teriakan terakhir, dia lenyap bersama reruntuhan di dasar lorong.

    Kala itu, Lail berusaha untuk menyelamatkan sang Ibu. Membuat pegangannya terlepas. Syukurlah, satu tangan meraihnya. Dia selamat.

    Lail dan anak laki-laki itu terjerembab di pinggiran trotoar. Di persimpangan jalan. Di sisi tangga darurat yang sudah rubuh. Wajahnya pucat, karena baru saja melewati kengerian yang luar biasa. Bibirnya mendesiskan kata ibu ... karena menjadi saksi tiadanya. Dan ketika dia tersadar untuk menatap ke sekelilingnya, pemandangan yang lebih menakutkan mencengkram hatinya. Kota bena-benar hancur dan luluh lantak. Langit gerimis, seakan ikut berduka dengan kemalangannya.

    Gerimis menjelma hujan. Anak laki-laki itu mengajak Lail untuk berteduh. Keduanya menuju taman kota yang berjarak sekitar 200 meter. Berlindung di bawah rumah-rumahan plastik.

    Anak lelaki ini namanya Esok. Berusia 15 tahun. Sama seperti Lail, dia juga kehilangan anggota keluarga; empat orang saudara laki-laki. 

    Rupanya, dia ini sosok yang jenius dan brilian. Tujuannya jelas. Tindakannya memiliki maksud. Saat Lail bingung entah melakukan apa, Esok mengajaknya untuk melihat rumah mereka. Mungkin ada yang tersisa, atau ada anggota keluarga yang selamat.

    Benar saja, ibu Esok masih hidup. Berada di antara reruntuhan. Tertindih rak toko. Syukurlah ada regu penyelamat di dekat situ. Ibunya tertolong. Langsung dilarikan ke rumah sakit. Sungguh, itu bisa dianggap sebagai keajaiban.

    Pasca gempa, kehidupan Lail dan Esok berubah total. Malam pertama, mereka menginap di rumah sakit darurat. Berbaring di sudut tenda, beralas kardus, berbantal tangan. Meringkuk menahan dingin. Namun, fisik yang lelah, menjadikan keduanya tertidur pulas.

    Esoknya, Walikota—yang selamat dari bencana—mengumumkan lokasi-lokasi pengungsian. Jumlahnya ada delapan. Titik yang paling dekat dengan Lail dan Esok adalah pengungsian nomor dua di stadion sepak bola. Setelah mendaftarkan diri, keduanya langsung mendapatkan pelayanan.

    Malam kedua, Lail dan Esok tidur dengan kondisi yang lebih baik. Memakai kasur tipis, bantal, selimut, bahkan berganti pakaian. Meski seadanya, itu lebih layak daripada malam sebelumnya. Sementara itu, keadaan di luar bertambah buruk. Debu semakin tebal, cuaca turun drastis hingga lima derajat celcius. Dinginnya sangat menusuk tulang.

    Hari ketiga, debu masih tebal seperti biasa. Lail melibatkan diri untuk membantu para petugas dapur umum di pengungsian. Dia diberi tugas mencuci piring dan alat-alat masak lainnya. Sedang Esok sudah melibatkan diri sejak hari pertama; membawa barang-barang, membagikan masker, mengobrol dengan marinir (h. 61) dan banyak hal lainnya.

    Saat itu, evakuasi kerban gempa, masih terus dilakukan.

    Hari ketujuh, pengungsian tempat Lail dan Esok berada mendapat sumber air bersih dari sumur bor. Orang-orang berteriak riang karena sudah berhari-hari mereka belum mandi. Antrean mengular panjang, tapi itu bukan masalah.

    Hari keempat belas, hujan sudah tiga kali melanda kota. Abu yang tebal berkurang. Keadaan udara membaik. Pengungsi sudah boleh melepas masker, bernafas normal. Mungkin, itu adalah berkah sekaligus keajaiban yang diberikan Tuhan. Mengingat betapa berbahayanya jika abu terus turun.

    Hari ke 21, ibu Esok sudah pulih dan diperbolehkan keluar dari rumah sakit, melanjutkan perawatan di tenda pengungsian. Esok sangat berbahagia. Lail turut senang.

    Hari ke 30, sekolah darurat didirikan. Bagaimanapun, pendidikan adalah hal penting dan dibutuhkan untuk menyiapkan generasi-generasi muda. Di bawah tenda besar, Lail memulai kembali hidupnya sebagai pelajar, walau dengan fasilitas seadanya. Sedang Esok ditempatkan di sebuah bangunan yang selamat dari bencana, meski hanya separuh.

    Hari-hari terus berlalu. Evakuasi korban terus menerus dilakukan. Jaringan komunikasi dipulihkan pada hari keenam puluh. Dan kendaraan sudah melintas pada hari ketujuhpuluh.

    Akan tetapi, Lail dan Esok tidak bisa terus menerus bersama. Karena terlalu jenius, Esok diadopsi oleh Walikota. Dia diberi beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke ibu kota. Sekaligus mendapat fasilitas perawatan terbaik untuk ibunya.

    Sedang Lail mau tak mau menerima nasib untuk tinggal di panti sosial. Mengecap getirnya kehidupan. Dan sejak perpisahan itu, dia tersadar... Esok adalah sosok yang sangat berarti baginya ....

    Review Novel Hujan Tere Liye: Kelebihan dan Kekurangan

    Sebenarnya, ide novel tentang hujan sangatlah sederhana. Sungguh telah banyak novel yang serupa. Hanya saja, Tere Liye meramunya dengan Sains sehingga nampak memunculkan sudut pandang baru dan layak dibaca.

    Salah satu hal yang patut diapresiasi dalam novel Hujan ialah keakuratan data yang ditampilkan Tere Liye. Misal pembahasan di halaman sebelas, penduduk bumi berjumlah sekitar enam milyar pada tahun 2000. Kemudian digeser ke 200 tahun sebelumnya, jumlah penduduk bumi belum menyentuh milyaran, masih ratusan juta saja. Dan perkiraan pada tahun 2040-an, dunia akan berisi 9-10 milyar manusia. Hal tersebut sesuai dengan data dari United Nation World population Prospects.

    Atau fakta Gunung Tambora yang meletus 5 April 1815 dan menyebabkan iklim dunia berubah. Gunung Krakatau yang tumpah pada 26 Agustus 1883, menyebabkan Tsunami dahsyat di kawasan Samudera Hindia dan menewaskan 36 ribu orang. Gunung Toba dengan ledakan skala 8, menyebabkan bumi mengalami musim dingin selama enam tahun berturut-turut, populasi dunia langsung menyusut. Semuanya bisa dicocokan dengan sejarah yang ada.

    Meski data-data tersebut bisa dijumpai di internet dengan mudah, tetaplah usaha penulis mengetengahkan realita berdasar fakta perlu diberi applause.

    Selain itu, gagasan-gagasan Tere Liye dalam novel Hujan cukup brilian. Mulai dari sistem nirkabel autodebet, mobil terbang tanpa awak, apartemen canggih dengan segala fasilitasnya, sampai pada pemerintahan yang memiliki tatakelola efektif dan efisien yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Salah satunya tanggap bencana dan menyiapkan penanganan terbaik.

    Meski begitu, Esok yang dianggap sebagai tokoh besar dalam novel ini, tidak diberi porsi yang cukup. Penulis hanya menarasikan kejeniusannya tanpa menampilkan pekerjaan sesungguhnya. Memang, ada beberapa bagian dia menampakkan hasil, tapi perjuangannya dinihilkan.

    Ada pengulangan makna di halaman 36 dan 47, narasi Lail menyukai hujan. Sebenarnya, sudah cukup pada halaman 36 saja.

    Kemudian, nampak sebuah plot hole di halaman 117 ketika Lail dan sahabatnya di kubangan lumpur. Pada narasi pertama, sahabatnya mengatakan bahwa mereka baru separuh jalan. Ditambah penegasan kalimat perkampungan penduduk yang mereka tuju masih jauh. Namun, hanya dengan melewati rintangan lumpur 20 meter dan selamat darinya, muncul sebuah narasi yang berlawanan, mereka berhasil melewati kubangan lumpur dan perkampungan penduduk sudah dekat.

    Walau sebenarnya, hal tersebut hanyalah simulasi, tetap saja ada tuturan yang bertolak belakang.

    Terakhir, beberapa istilah yang kurang familiar tidak diberi penjelasan atau catatan kaki sama sekali. Sehingga pembaca harus meraba-raba maknanya atau membuka perambah google.

    Meski begitu, novel Hujan memiliki banyak nilai positif. Mulai dari kedewasaan dalam menyikapi kehilangan, hingga pengorbanan untuk orang yang dicintai.

    Sangat direkomendasikan pada kaula muda yang menginginkan cerita romantis sederhana dengan balutan sains yang cukup memberi wawasan dan pengetahuan.

    Kutipan Novel Hujan Tere Liye

    Lebih baik mendengar kebenaran meski itu amat menyakitkan daripada mendengar kebohongan meski itu amat menyenangkan, (h. 288).

    Sebenarnya hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan ... (h. 298).

    Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi, jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan, (h. 308).


    Glosarium Novel Hujan Tere Liye: 

    Population bottleneck (h. 32): penurunan drastis populasi akibat bencana alam.

    Sibling rivarly (h. 36): kompetisi atau persaingan antar saudara kandung.

    Landmark (h. 37): markah atau tugu kota.

    Stratosfer (h. 49): bagian kedua dari lapisan yang melindungi bumi. Bersuhu dingin. Fungsi utamanya melindungi bumi dari paparan sinar ultraviolet yang berbahaya bagi makhluk hidup.

    Superintendent (h. 80): pengawas, pemimpin.

    Deadlock (h. 121): jalan buntu.

    Konstelasi (h. 122): keadaan, tatanan.

    KTT: Konferensi Tingkat Tinggi.


    Identitas Novel:

    Judul: Hujan
    Pengarang: Tere Liye
    Genre: Roman, Sci-fi, Drama
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
    Tahun terbit: 2016
    Tebal: 320 hlm; 20 cm
    eISBN: 978-602-038359-0

    Demikian Review Novel Hujan Tere Liye. Semoga bisa memberi sekilas gambaran isi buku. Semoga bermanfaat!




    Author

    Moera Ruqiya

    Panggil aku, Moera.