BLANTERORBITv102

    Review Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam | Dian Purnomo

    Selasa, 17 Oktober 2023

     resensi novel perempuan yang menangis kepada bulan hitam

    Review Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

    Antara Ambisi dan Leluri

    Ruang Resensi | Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam adalah suara perempuan Sumba yang diwakilkan oleh Dian Purnomo kepada dunia. Bahwasanya, di zaman semodern ini, masih ada wanita-wanita yang hidup dalam belenggu dan kungkungan adat; tidak memiliki otoritas ataupun kuasa, tidak memiliki hak untuk berbicara dan bersuara.

    Menculik wanita, kemudian "ditaklukan" demi mempersuntingnya sebagai istri (yappa mawie) dianggap sebagai kebanggaan menjaga tradisi nenek moyang, tapi bagi Magi Diela itu adalah sebilah pisau yang menyembelih seluruh cita-cita dan impiannya.

    Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam menyajikan citra seorang perempuan yang ambisius, tapi terjerat dan terpenjara oleh hukum leluri; tanpa kompromi dan negosiasi.

    Review Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam: Sinopsis

    Hari itu, Magi Diela sudah memiliki jadwal untuk memberi penyuluhan ke desa Hupu Mada pada jam tiga sore. Sejak pagi, dia sudah menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan; mulai materi, daftar hadir, hingga menelepon kepada desa untuk melakukan koordinasi.

    Sekitar jam dua, Magi pun berangkat. Awalnya, semua nampak baik-baik saja. Bahkan, dia bisa menikmati hamparan pantai di kejauhan bersama embusan angin yang sejuk. Namun, semua berubah ketika tiba di cabang tiga jalan Ahmad Yani dan Hupu Mada. Seorang pengendara motor tiba-tiba melambatkan laju di sisi kanannya dan berteriak, "Hei Nona, kamu punya tas terbuka. Awas dompet jatuh (h.35)." 

    Awalnya dia tidak yakin, tapi ada resah kalau-kalau itu benar terjadi. Khawatir ada barang-barang yang terjatuh, dia akhirnya mengikuti arahan dari pengendara untuk menepi.

    Betapa terkejutnya Magi saat melihat tasnya baik-baik saja setelah memeriksanya. Ketika menoleh ke arah pengendara yang mengingatkannya tadi, semuanya sudah terlambat.

    Mobil pick-up terbuka tiba-tiba berhenti di sampingnya. Empat atau lima laki-laki--Magi tidak yakin--mengangkatnya begitu saja untuk dinaikan ke bak belakang (h. 40).

    Meski mencoba meronta, memukul, menendang, berteriak, hingga menggigit untuk melakukan perlawanan, tetap saja upaya Magi sia-sia. Tubuh mungilnya tidak memiliki kekuatan yang berarti. Dirinya direbahkan begitu saja dan dibawa paksa.

    Hari sudah gelap ketika dia sadar dan mendapati dirinya memakai sarung tenun berwarna krem. setelah beberapa saat mengingat-ingat kejadian sebelumnya, dia seketika terisak. Dirinya ingat betul saat ke Hupu Mada mengenakan celana panjang, tapi sekarang sudah berganti. 

    Dia merasa hancur, hina, dan jijik. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Terlebih lagi ada jeri teramat sangat di kedua pangkal pahanya.

    Magi histeris karena sulit menerima kenyataan. Dia berteriak sekencang-kencangnya. Sampai-sampai tulangnya terasa remuk. Membuat beberapa wanita datang ke kamar untuk menenangkannya. Sesaat kemudian seorang wanita lainnya datang dengan segelas teh panas, tapi dirinya sama sekali tidak berselera.

    Wanita yang paling tua--belakangan Magi tahu bahwa dia adalah calon mertuanya--mencoba memberi nasehat, "Ko menurut saja dengan kami. Semua sudah diatur. Ko tidak perlu sedih." Mendengar nasehat itu bukan menjadikannya menyerah kalah, tapi malah semakin menegaskan penolakannya.

    Tiba-tiba Magi berdiri dan langsung menerjang keluar. Dia ingin memberontak. Sayangnya, aksi tersebut tak berhasil. Wanita-wanita itu mencegahnya. Suasana menjadi gaduh. Leba Ali--calon suami sekaligus dalang penculikannya--yang semula di luar kamar, akhirnya masuk ke dalam dan menyuruh semua orang keluar.

    Dirinya semakin geram dan naik pitam. "Pemerkosa! Ko tunggu pembalasan!" Magi memaki Leba Ali tepat di depan wajahnya.

    Lelaki itu tidak menjawab. Dicengkramnya leher Magi, kemudian mendorongnya hingga jatuh terlentang di atas bale-bale. Saat itulah "penaklukan" keduanya dimulai. Hari itu adalah hari terburuk dalam hidupnya. Malangnya lagi, penderitaan Magi tidak selesai sampai di sana. Rupanya, dia bukan istri pertama, melainkan menjadi yang kedua. Sudah jatuh ke tanah, tertimpa tangga pula. Dia merasa seperti seonggok tahi sapi di dalam kandang yang tak bisa berbuat apa-apa.

    Meski demikian, Magi tak ingin menerima kenyataan begitu saja. Dia memilih untuk melakukan bunuh diri daripada hidup menjadi pendamping Leba Ali. Setelah menulis surat wasiat kepada keluarganya, wanita mungil itu memulai rencananya.

    Di pagi yang cerah, ketika dirinya luput dari pengawasan. Magi mulai menggigit pergelangan tangan kiri dengan tujuan memutuskan urat nadinya. Namun, bukan main sakitnya. Dia tahu bahwa ini tidak akan mudah, tapi siapa sangka akan sesakit itu. Meski demikian, dia tetap memaksa diri. Menelan rasa sakit dengan air mata yang merembes. Kian lama, kian membeludak bersama ngilu yang makin menjadi. Perlahan matanya berkunang-kunang karena rasa sakit dari gigitan tersebut. Hingga di detik berikutnya, kesadarannya lenyap dan semua menjadi gelap.

    Review Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam: Kelebihan dan Kekurangan

    Novel ini menyoroti isu perempuan dalam pernikahan adat yang menganut sistem patriarki; lelaki sebagai titik sentral dan memiliki dominasi atas segalanya. Juga menyinggung isu human trafficking, pelecehan dalam dunia pendidikan (h.144-145), hingga kesetaraan gender (h. 185).

    Nilai tambah novel ini juga terletak pada keterusterangan penulis dalam diksi-diksinya. Metafora dan tuturan-tuturan tajam sangat mendukung konteks yang dialami oleh sang tokoh. Misal di h. 89, "tidak bedanya dengan seonggok tahi sapi yang ada di dalam kandang", atau "cinta tahi kucing" pada h. 283.

    Dalam Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, Dian Purnomo juga mencoba menggambarkan rusaknya hukum ketika berada di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Leba Ali sebagai sosok yang berpengaruh dan memiliki koneksi di mana-mana, bisa keluar masuk penjara sesuka hatinya. Bahkan, terbebas dari hukum dengan mudahnya. Seolah-olah visualisasi dan realita di negeri ini.

    Keunggulan novel ini semakin tampak saat menyisipkan bahasa daerah Sumba dalam dialog-dialog antar tokoh, sehingga latarnya terasa hidup. Mungkin, inilah buah dari residensi penulis di Waikabubak selama enam minggu.

    Akan tetapi, dengan segala kelebihan itu, masih ada beberapa catatan kecil untuk Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam.

    Pada judul Aku di bab 37, sebenarnya bagian ini merupakan plot twist yang tidak terduga. Seharusnya, poin tersebut disimpan sebagai kejutan akhir bagi pembaca. Sayangnya, malah berada di tengah-tengah. Peralihan POV orang ketiga menjadi orang pertama (aku) terasa sangat mendadak. Seolah-olah meruntuhkan alur yang dibangun dari awal. 

    Kemudian, di halaman 202, Dian Purnomo yang semula memakai sudut pandang Dangu,  tiba-tiba berubah menjadi "kita", sehingga pembacaan di sini terasa janggal. Lalu, terjadi disimilaritas judul dan isi pada bab Negosiasi (h.203) dan Pulangnya Pahlawan (h.206).

    ***

    Pada akhirnya, Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam masih sangat pantas untuk dibaca. Direkomendasikan pada pembaca dewasa muda yang tertarik dengan isu perempuan dan kesetaraan gender.


    Quotes Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam


    "Tidak ada laki-laki dan perempuan bisa menjadi sahabat sampai dewasa." (h.28)


    Identitas Novel

    Judul: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
    Pengarang: Dian Purnomo
    Editor: Ruth Priscilia Angelina
    Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
    Tahun Terbit: 2020
    Tebal: 320 halaman
    ISBN: 978-602-06-4845-3


    Demikian review novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Semoga bermanfaat!


    Baca juga: Resensi Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu - Tere Liye





     


    Author

    Moera Ruqiya

    Panggil aku, Moera.