BLANTERORBITv102

    Review Buku Teach Like Finland Timothy D Walker

    Selasa, 27 Mei 2025

     


    Teach Like Finland

    Seni Mengajar ala Nordic


    Ruang Resensi | Review Buku Teach Like Finland | Progress membaca buku Teach Like Finland terasa sangat lambat. Selain terjemahan yang kurang nyaman, ukuran font-nya juga terlalu kecil. Membuat mata cepat lelah dan jenuh. Selain itu, strategi dalam buku ini terfokus untuk anak SD, jika digunakan untuk SMP atau SMA, bahkan perguruan tinggi, beberapa akan sesuai, beberapa lagi mungkin tidak, atau perlu dimodifikasi.

    Dan juga, Timothy memiliki latar belakang sebagai pendidik dari Amerika, maka perbandingan dalam buku ini seringkali antara Finlanda dan Amerika. Sedikit banyaknya, budaya pendidikan dari kedua negara, berbeda dengan budaya pendidikan di Indonesia.

    Walau demikian, buku Teach Like Finland memiliki banyak insight dan bisa menjadi wawasan baru bagi para pengajar dalam dunia pendidikan.

    Tiga puluh tiga strategi yang ditawarkan oleh Timothy dalam buku Teach Like Finland dibungkus dalam lima tema besar; Kesejahteraan, Rasa Dimiliki, Kemandirian, Penguasaan, dan Pola Pikir. 

    Bab satu, kesejahteraan.

    Saya rasa setiap pendidik bahkan orang awam sekalipun akan sepakat, bahwasannya salah satu indikator kesuksesan dalam pendidikan adalah kesejahteraan. Maka tidak salah jika Timothy memulai bab pertama Teach Like Finland dengan kesejahteraan. Mengutip Emma Sepala, penulis The Happiness Track yang dicantumkan oleh Timothy, penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari kesuksesan, melainkan kunci kesuksesan. Dalam bahasa yang sederhana, jika Anda ingin sukses, Anda harus bahagia. Pada konteks ini, kebahagiaan yang dimaksud oleh Emma adalah senang atau menyukai apa yang Anda lakukan. 

    Dan fondasi meraih kebahagiaan, kata Timothy dalam Teach Like Finland adalah kesejahteraan; terpenuhinya kebutuhan pokok, tidur, makan minum yang cukup, tersedianya pakaian dan tempat bernaung. Dalam konteks sekolah, maka kesejahteraan tersebut mencakup para pendidik (guru) dan peserta didik. Tentu saja yang dipromosikan dalam Teach Like Finland bukan hanya kesejahteraan sandang, papan, dan pangan semata, melainkan kesejahteraan fisik, emosi, dan mental. Jika hal ini terpenuhi, maka kualitas belajar dan mengajar akan meningkat dan menyenangkan. 

    Salah satu bentuk kesejahteraan mental yang diwujudkan oleh sekolah Finlandia, sebagaimana dikisahkan oleh Timothy dalam Teach Like Finland, adanya istirahat 15 menit setelah 45 menit pelajaran. Pola ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Anthony Pellegrini (penulis Recess: Its Role Education and Development), bahwasannya anak-anak akan lebih fokus setelah istirahat dan kehilangan fokus ketika jam istirahat ditunda. (h. 8)

    Di poin selanjutnya, Timothy juga masih menggambarkan kesejahteraan di sekolah Finlandia. Guru-guru diharapkan pulang tepat waktu agar bisa mengisi ulang tenaga untuk esok hari, dan para siswa diberi beban pekerjaan rumah yang sedikit. Bahkan Timothy mengangkat salah satu poin berjudul menjaga kedamaian. Pola ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap orang di dalam kelas dengan mengadakan lingkungan yang tenang tanpa suara bising dan tekanan. 

    Bab dua, rasa yang dimiliki. 

    Pada bab kedua, Teach Like Finland merumuskan tujuh strategi untuk para pengajar. Dari tujuh poin ini, ada dua yang menjadi sorotan utama. Satu, mengenal setiap anak. Tidak bisa dipungkiri, salah satu kunci dalam mendidik adalah mengenal peserta didik karena mereka memiliki karakter yang berbeda-beda. Guru dan murid selayaknya memiliki hubungan personal yang baik agar pembelajaran terasa nyaman dan efektif. 

    Ada banyak cara untuk menciptakan hubungan guru dan murid seperti dicontohkan oleh Timothy dalam Teach Like Finland, menyapa anak-anak sebelum masuk kelas, melakukan morning circle atau bergabung bersama murid saat makan siang. 

    "Adanya momen non-akademik saat makan siang, ketika kita bisa membicarakan apapun dengan bebas, akan sangat bernilai untuk memperkuat hubungan pribadi." (h. 61)

    Dua, perisakan atau bullying. Walaupun sekolah Finlandia memiliki pola yang sudah mumpuni, perisakan atau bullying tak bisa dihindarkan. Akhirnya, untuk menangani masalah ini dibuatlah sebuah sistem bernama KiVa (bermakna melawan perisakan).

    Setelah melalui beberapa proses, kedua belah pihak akan dipertemukan dalam satu ruangan. Siswa bercerita dari sundut pandang masing-masing. Keduanya akan diminta untuk mencari solusi pencegahan agar perisakan tersebut tidak terulang. Jika sudah merenungkannya, maka pertemuan berakhir.

    Uniknya, dalam pertemuan KiVa, Anda tidak harus meminta maaf kecuali memang ingin melakukannya, karena jika diminta atau dipaksa meminta maaf, seringkali permintaan maaf tersebut tidaklah sungguh-sungguh. 

    Strategi lain yang ditawarkan oleh Timothy dalam buku Teach Like Finland adalah kebebasan. Tentu saja kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang wajar dan mengarah pada sesuatu yang positif.

    Sebagaimana Timothy memberikan kebebasan bagi siswanya untuk melakukan penggalangan dana kemah sekolah, dengan cara menjual kue di sekolah. Timothy sama sekali tidak campur tangan dalam kegiatan yang dibuat oleh siswanya, bahkan dia tidak memberikan arahan. Mereka membuat iklan, formulir pendaftaran, mengatur perabotan, menyiapkan bahan kue, hingga menentukan harga sendiri. Dan para siswanya berhasil.

    Di lain waktu, Timothy dan guru kelas lainnya membuat program Minggu Belajar Mandiri. Para siswa diberikan daftar tugas di setiap mata pelajaran dan akan mereka kerjakan sendiri tanpa pengawasan maupun pendamping. Nyatanya program ini pun berhasil.

    Kemudian, dalam Teach Like Finland, Timothy juga mengusung topik yang berjudul bermuka tebal. Poin ini membahas tentang intervensi orang tua dalam institusi pendidikan. Kata Timothy, seorang guru haruslah bermuka tebal (bukan keras kepala) ketika mendapat surel panjang dari orang tua yang terlalu campur tangan.

    Selama seorang guru bertindak profesional dan sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan, maka tidak perlu mengakomodasi intervensi yang datang. "Anda adalah ahli di rumah dan saya adalah ahli di sekolah," demikian pesan rekan Timothy padanya.

    Sederhananya, urusan pendidikan anak di rumah adalah tanggung jawab orang tua, sedangkan di sekolah biarlah menjadi tanggung jawab para pendidik. Kadang interaksi dengan orang tua akan menghasilkan intervensi yang tidak seharusnya, sehingga merenggut kebahagiaan mengajar seorang guru. "Anda adalah seorang profesional!" ucap Timothy.

    Sekilas Membaca Kesejahteraan (Pendidikan) Indonesia 

    Pendidikan adalah elemen penting suatu bangsa demi mencetak generasi-generasi muda. Untuk mencetak generasi yang unggul, tangguh, dan berdaya tentu harus dengan pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Pendidikan yang berkualitas dan bermutu selayaknya membutuhkan SDM yang mumpuni bukan sekadar asal jadi.

    Maka, guru-guru yang kompeten, profesional, dan berspesialisasi di bidangnya sepatutnya direkrut agar bisa berperan dan berkontribusi. Akan tetapi, fenomena di negeri ini sangatlah memilukan. Guru diberi beban dan tuntutan yang berlebihan, tapi kesejahteraannya diabaikan. Kesejahteraan mereka masih sangat rendah dan tidak sebanding dengan pengabdian yang diberikan (Saidun et al., 2025).

    Bayangkan saja, gaji guru di Indonesia masih jauh dari kata layak, terutama guru honorer atau swasta yang berkisar 50.000 hingga 300.000 ribu rupiah (Saidun et al., 2025) sehingga mau tak mau mereka mencari penghasilan sampingan untuk mencukupi hidupnya. Akibatnya, pengajaran atau proses pendidikan menjadi tidak maksimal. 

    Ditambah lagi, peran guru memiliki keterbatasan dalam mendidik peserta didik. Tidak boleh terlalu kelas, apalagi main fisik, karena dianggap melanggar HAM. Maka, semakin mengkhawatirkanlah keadaan generasi masa kini. 

    Masalah lainnya ialah sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai. Infrastruktur dan fasilitas yang memprihatinkan, bahkan bisa dikatakan buruk dan tak layak (Dwi dan Nursiwi, 2024). Keadaan demikian, tentu menghambat kegiatan belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan. Belum lagi masalah kurikulum yang masih menjadi problema di negeri ini (Lestari, et al., 2022). 

    Pada akhirnya, para guru tidak sejahtera dan peserta didik pun tidak sejahtera.


    Identitas Buku:

    Judul: Teach Like Finland
    Penulis: Timothy D. Walker
    Penerbit: Grasindo
    Tahun terbit: Juli, 2017
    Tebal: 200 hal.
    ISBN: 978-602-452-044-1
    Genre: Edukasi, Pendidikan

    Demikian Review Buku Teach Like Finland Timothy D Walker. Semoga bermanfaat.


    Referensi tambahan:
    • Lestari Eko Wahyudi dkk, Mengukur Kualitas Pendidikan di Indonesia, Ma'aruf Journal of Education, Vol. 1, Issue 1, 2022 pp. 18-22.
    • Saidun Hutasuhut dkk, Kesejahteraan Guru di Indonesia, Future Academia, Vol. 3, No. 1, Februari 2025 pp. 227-235.
    • Dwi Handayani Ratnasari dan Nursiwi Nugraheni, Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia dalam Mewujudkan Program Sustainable Development Goals (SDGS), Jurnal Citra Pendidikan, Vol. 4, No. 2, 2024  hal. 1652-1665.



    Author

    Moera Ruqiya

    Panggil aku, Moera.